“SEJARAH
GURU BANGSA TJOKROAMINOTO”
Kelas : 1KA07
Kelompok
6 :
Devi Faridasari
Adi Supriadi
Bimo
Laylita Farhana
Rahmat
Tio Rizky Almunazir
1.1 Sinopsis Film " Sejarah Guru Bangsa Tjokroaminoto"
Setelah
lepas dari era tanam paksa di akhir tahun 1800, Hindia
Belanda memasuki babak baru yang
berpengaruh dalam kehidupan masyarakatnya, yaitu dengan gerakan politik etis
yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Tetapi kemiskinan masih banyak terjadi.
Rakyat banyak yang belum mengenyam pendidikan, dan kesenjangan sosial
antaretnis dan kasta masih terlihat jelas.
Oemar Said Tjokroaminoto (Tjokro)
yang lahir dari kaum bangsawan Jawa di Ponorogo, Jawa Timur, dengan latar belakang keislaman yang kuat, tidak diam saja
melihat kondisi tersebut. Walaupun lingkungannya adalah keluarga ningrat dengan
hidup yang nyaman dibandingkan rakyat kebanyakan saat itu, ia berani
meninggalkan status kebangsawanannya dan bekerja sebagai kuli pelabuhan dan
merasakan penderitaan sebagai rakyat jelata.
Tjokro berjuang dengan membangun organisasi Sarekat Islam,
organisasi resmi bumiputera pertama terbesar kala itu, sehingga bisa
mencapai 2 juta anggota. Ia berjuang menyamakan hak dan martabat masyarakat bumiputera
di awal 1900 yang terjajah. Perjuangan menjadi benih
lahirnya tokoh dan gerakan kebangsaan.
Tjokro yang intelektual, pandai bersiasat, mempunyai banyak
keahlian, termasuk silat, mesin, hukum, penulis surat kabar yang kritis, orator
ulung yang mampu menyihir ribuan orang dari mimbar pidato, membuat pemerintah
Hindia Belanda khawatir, dan membuat mereka bertindak untuk menghambat laju
gerak Sarekat Islam yang pesat. Perjuangan Tjokro lewat organisasi Sarekat
Islam untuk memberikan penyadaran masyarakat, dan mengangkat harkat dan
martabat secara bersamaan, juga terancam oleh perpecahan dari dalam organisasi
itu sendiri.
Rumah Tjokro di Gang Peneleh, Surabaya, terkenal
sebagai tempat bertemunya tokoh-tokoh bangsa Indonesia kelak. Di
rumah sederhana yang berfungsi sebagai rumah kos yang di bina oleh istrinya,
Suharsikin, Tjokro juga mempunyai banyak murid-murid muda yang pada akhirnya
menetas, memilih jalan perjuangannya masing-masing, meneruskan cita-cita Tjokro
yang mulia untuk mempunyai bangsa yang bermartabat, terdidik, dan sejahtera.
Salah satu muridnya di Soekarno yang kelak menjadi proklamator kemerdekaan Republik
Indonesia.
KELEMAHAN /
KRITIK
Beberapa kelemahan dalam film Guru
Bangsa Tjokroaminoto tersebar di beberapa titik alur cerita hingga akting
pemainnya. Partisipasi rakyat pun kurang tergambar secara jelas. Gagasan Tjokro
yang berkembang di masyarakat tidak dimunculkan benar. Banyaknya detil film
yang dikerjakan sehingga yang lain jadi tertinggal. Selain itu, film Tjokro
masih memadukan gaya Indonesia dan Hollywood sehingga karakteristik film menjadi tidak jelas. Akting
pemain utama pun saat kesepian, masih kurang menghanyutkan penonton. Film Tjokroaminoto
seperti karya sejenis sebelumnya, hanya digarap berdasarkan riset, meskipun
terselip juga hasil interpretasi sutradara.
1.2
Sejarah
Guru Bangsa Tjokroaminoto
Raden Hadji
Oemar Said Tjokroaminoto
(lahir di Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882 – meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun ) bernama lengkap Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto,
pahlawan nasional sekarang lebih dikenal dengan nama H.O.S Cokroaminoto,
merupakan seorang pemimpin salah satu organisasi yaitu Sarekat Islam
(SI). Ia kemudian meninggal pada umur 52 tahun yaitu tanggal 17 Desember 1934
di Yogyakarta.
Kehidupan pribadi
Tjokroaminoto
adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama R.M. Tjokroamiseno,
salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, R.M. Adipati
Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.
De
Ongekroonde van Java atau "Raja
Jawa Tanpa Mahkota" bernama Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor
pergerakan di indonesia
dan sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar di indonesia,
berangkat dari pemikiran ialah yang melahirkan berbagai macam ideologi
bangsa indonesia pada saat itu, rumah ia sempat dijadikan rumah kost para
pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya, yaitu Semaoen, Alimin, Muso, Soekarno, Kartosuwiryo,
bahkan Tan Malaka
pernah berguru padanya, ia adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk
pada Belanda, setelah
ia meninggal lahirlah warna-warni pergerakan indonesia yang dibangun oleh
murid-muridnya, yakni kaum sosialis/komunis
yang dianut oleh Semaoen, Muso, Alimin, Soekarno
yang nasionalis,
dan Kartosuwiryo
yang islam
merangkap sebagai sekretaris pribadi. Namun, ketiga muridnya itu saling
berselisih menurut paham masing-masing. Pengaruh kekuatan politik
pada saat itu memungkinkan para pemimpin yang sekawanan itu saling
berhadap-hadapan hingga terjadi Pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan Partai komunis Indonesia karena
memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" yang dipimpin Muso dan dengan terpaksa presiden
Soekarno mengirimkan pasukan elite TNI yakni Divisi Siliwangi
yang mengakibatkan "abang" sapaan akrab Soekarno kepada Muso pemimpin
Partai komunis pada saat itu tertembak mati 31 Oktober, dan dilanjutkan
pemberontakan oleh Negara Islam Indonesia(NII) yang dipimpin
oleh Kartosuwiryo dan akhirnya hukuman mati yang dijatuhkan oleh Soekarno
kepada kawannya Kartosuwiryo
pada 12 September 1962. Pada bulan Mei 1912, HOS Tjokroaminoto mendirikan organisasi Sarekat Islam
yang sebelumnya dikenal Serikat Dagang Islam dan terpilih menjadi ketua.
Salah
satu trilogi darinya yang termasyhur adalah Setinggi-tinggi ilmu,
semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana
perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang
pejuang kemerdekaan. Dari berbagai muridnya yang paling ia sukai adalah Soekarno
hingga ia menikahkan Soekarno dengan anaknya yakni Siti Oetari,
istri pertama Soekarno.
Pesannya kepada Para murid-muridnya ialah "Jika kalian ingin menjadi
Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan
dan bicaralah seperti orator".
Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Soekarno setiap malam
berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya, Muso, Alimin, Kartosuwiryo, Darsono,
dan yang lainnya terbangung dan tertawa menyaksikannya.
Tjokro
meninggal di Yogyakarta, Indonesia, 17 Desember 1934 pada umur 52 tahun. Ia
dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta,
setelah jatuh sakit sehabis mengikuti Kongres SI di Banjarmasin.
Sang Raja Tanpa Mahkota : Hidup
Dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto
Sang raja tanpa mahkota begitulah kaum Kompeni Belanda
menyebutnya, lihai cerdas, dan bersemangat. Di takuti dan juga disegani lawan –
lawan politiknya. Perjuangnya dalam membela hak kaum pribumi saat itu benar –
benar menempatkan dirinya menjadi seoarang tokoh yang benar-benar dihormati
pada saat itu. Dialah H.O.S Tjokroaminoto lahir di desa Bakur, Madiun Jawa
Timur 16 Agustus 1883 (ada yang menulis beliau lahir 20 Mei 1883. Tepat pada
waktu Gunung Krakatau meletus, sebagian menulis lahir tahun 1882). Ia anak
kedua dari dua belas bersaudara putra dari Raden Mas Tjokro Amiseno, seorang
Wedana Kleco dan cucu R.M Adipati Tjokronegoro bupati Ponorogo. Terlahir dari
keluarga bangsawan tak membuatnya bersikap angkuh, justru karena itulah ia
akhirnya menjadi sebuah motor penggerak kemerdekaan bagi Indonesia disaat semua
manusia tertidur dalam belaian kompeni Belanda.
Pada awalnya, ia juga mengikuti jejak kepriyayian ayahnya, sebagai
pejabat pangreh praja. Ia masuk pangreh praja pada tahun 1900 setelah
menamatkan studi di OSVIA, Magelang. Pada tahun 1907, ia keluar dari
kedudukannya sebagai pangreh pradja di kesatuan pegawai administratif
bumiputera di Ngawi, karena ia muak dengan praktek sembah-jongkok yang
dianggapnya sangat berbau feodal. Antara tahun 1907 – 1910 bekerja pada Firma
Coy & CO di Surabaya, disamping meneruskan pada Burgelijek Avondschool
bagian mesin. Bekerja sebagai masinis pembantu, kemudian ditempatkan di bagian
kimia pada pabrik gula di kota tersebut ( 1911 – 1912 ).
Bersama istrinya, Suharsikin ia mendirikan rumah kost di rumahnya
di Surabaya, yang nantinya melalui rumah inilah Cokro menyalurkan ilmunya dalam
agama, politik dan berorasi yang akhirnya menjadi cikal bakal pembentukan tokoh
– tokoh penting di Indonesia. R. A. Suharsikin adalah cermin wanita yang selalu
memberikan bantuan moril, selalu menjadi kebiasaannya, jika suaminya bepergian
untuk kepentingan perjuangannya, istri yang sederhana dan prihatin ini
mengiringi suaminya dengan sholat tahajud, dengan puasa, dan do’a.
Dengan lahirnya Sarekat Islam pada tahun 1912, mulailah
Cokroaminoto membuat cariere. Ketika ia sedang berada di Solo ia didatangi oleh
delegasi Sarekat Islam Solo untuk bergabung pada organisasi ini dan
Tjokroaminoto menyatakan kesiapannya untuk bergabung, Tjokroaminoto dikenal
sebagai orang yang berkarakter radikal yang selalu menentang kebiasaan-kebiasaan
yang memalukan bagi rakyat banyak. Pada saat itu Tjokroaminoto telah dikenal
sebagai seorang yang sederajat dengan pihak manapun juga, apakah ia seorang
belanda ataupun dengan seorang pejabat pemerintah. dan Tjokroaminoto
berkeinginan sekali untuk melihat sikap ini juga dimiliki oleh kawan
sebangsanya terutama di dalam berhubungan dengan orang-orang asing. Banyak dari
sekian banyak orang menyebut dia sebagai seorang Gatotkoco Sarekat Islam.
Rencananya Serikat Dagang Islam H Samanhudi, didirikan pada tahun 1905 yang
berorientasi sosial ekonomi, setelah dilebur menjadi S.I diperluas dengan
politik, ekonomi, Sosila dan Agama. Tjokro Muda tokoh politik yang berhasil
menggabungkan retorika politik melawan penjajah Belanda dengan ideology Islam,
sehingga mengenyahkan penjajah dari bumi Nusantara.
Para pendiri Sarekat Islam mendirikan organisasinya tidak
semata-mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang-orang cina, melainkan
membuat front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumiputra, dan merupakan
reaksi terhadap rencana Krestenings-Politiek
(Politik Peng-Kristenan) dari kaum zending, perlawanan terhadap
kecurangan-kecurangan dan penindasan-penindasan dari pihak ambtener-ambtener
bumi putra dan eropa. Pendeknya perlawanan Sarekat Islam ditujukan terhadap
setiap bentuk penindasan dan kesombongan rasial. Maka Sarekat Islam berhasil
sampai pada lapisan bawah masyarakat, yaitu lapisan yang sejak berabad-abad
hampir tidak mengalami perubahan dan paling banyak menderita.
Prestasi perdana Tjokroaminoto adalah ketika ia sukses
menyelenggarakan vergadering SI pertama pada 13 Januari 1913 di Surabaya. Rapat
besar itu dihadiri 15 cabang SI, tiga belas di antaranya mewakili 80.000 orang
anggota. Kongres resmi perdana SI sendiri baru terlaksana pada 25 Maret 1913 di
Surakarta di mana Tjokroaminoto terpilih menjadi wakil ketua CSI mendampingi
Hadji Samanhoedi. Dalam posisi wakil ketua inilah Tjokro mulai menanamkan
pengaruhnya.
Kongres SI ke-II di Yogyakarta pada 19-20 April 1914 melejitkan
nama Tjokroaminoto sebagai Ketua CSI menggantikan Samanhoedi dalam usia yang
masih muda 31 tahun. Di tangan Tjokro, SI mewujud menjadi organisasi politik
pertama terbesar di Nusantara. Pada 1914, anggota resminya mencapai 400.000
orang, sedangkan tahun 1916 terhitung 860.000 orang. Tahun 1917 sempat menurun
menjadi 825.000, pada 1918 bahkan merosot lebih drastis lagi hingga pada
kisaran 450.000, namun setahun berikutnya, tahun 1919, keanggotaan SI melesat
sampai 2.500.000 orang.
Tjokroaminoto adalah seoarang orator ulung dalam
vargadering-vargadering SI yang sanggup mengalahkan “suara baritonnya yang
berat dan dapat didengar ribuan orang tanpa mikrofon”. Dibawah kepemimpinannya,
Sarekat Islam menjadi organisasi yang besar dan bahkan mendapat pengakuan dari
pemerintahan kolonial.
Konon anggotanya harus mengangkat sumpah rahasia dan memiliki
kartu anggota yang sering kali dianggap sebagai jimat oleh orang-orang desa.
Tjokroaminoto kadang-kadang dianggap sebagai ratu adil, ’raja yang adil’ yang
diramalkan tradisi-tradisi mesianik jawa, yang disebut erucakra (yaitu, nama
yang sama dengan Cakra-aminata,
Tjokroaminoto) bahkan beberapa elite kerajaan jawa, yang tak suka dengan campur
tangan belanda dalam urusan mereka, tetapi mendukung Sarekat Islam.
Pada kongres nasional pertama di Bandung pada tahun 1916 ia
berkata:
”Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang disebabkan hanya karena susu. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat di mana orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya adalah penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya sendiri… tidak bisa lagi terjadi bahwa seseorang mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk kita, mengatur hidup kita tanpa partisipasi kita.”
”Tidaklah wajar untuk melihat Indonesia sebagai sapi perahan yang disebabkan hanya karena susu. Tidaklah pada tempatnya untuk menganggap negeri ini sebagai suatu tempat di mana orang-orang datang dengan maksud mengambil hasilnya, dan pada saat ini tidaklah lagi dapat dipertanggungjawabkan bahwa penduduknya adalah penduduk pribumi, tidak mempunyai hak untuk berpartisipasi di dalam masalah-masalah politik, yang menyangkut nasibnya sendiri… tidak bisa lagi terjadi bahwa seseorang mengeluarkan undang-undang dan peraturan untuk kita, mengatur hidup kita tanpa partisipasi kita.”
HOS pada kongres CSI tahun 1917 HOS mengutarakan persaudaraan umat
tidak terbatas letak geografis ras suku dan kedudukan, semua berlandaskan
persaudaraan Islam. HOS tidak menyebutkan kata Ukhuwah. Tapi gagasan yang HOS
gunakan menempatkan Islam sebagai pemersatu seluruh umat.
Sifat politik dari organisasi ini dirumuskan dalam “keterangan
pokok” (asas) dan program kerja yang disetujui oleh kongres nasional yang kedua
dalam tahun 1917. keterangan pokok ini mengemukakan kepercayaan central Sarekat
Islam bahwa “agama Islam itu membuka rasa
pikiran perihal persamaan derajat manusia sambil menjunjung tinggi kepada kuasa
negeri” dan “bahwasanya itulah {Islam} sebaik-baiknya agama buat mendidik budi
pekertinya rakyat”. Partai juga memandang “agama … sebagai sebaik-baiknya daya upaya
yang boleh dipergunakan agar jalannya budi akal masing-masing orang itu ada
bersama-sama pada budi pekerti… ”. sedangkan negeri atau pemerintah “hendaklah
tiada terkena pengaruhnya percampuran barang suatu agama, melainkan hendaklah
melakukan satu rupa pemandangan di atas semua agama itu.” Central
Sarekat Islam pun “tidak
mengharapkan sesuatu golongan rakyat berkuasa di atas golongan rakyat yang
lain. Ia lebih mengharapkan hancurnya kuasanya satu kapitalisme yang jahat
(zondig kapitalism), dan memperjuangkan agar tambah pengaruhnya segala rakyat
dan golongan rakyat … di atas jalannya pemerintahan dan kuasanya pemerintah
yang perlu akhirnya mendapat kuasa pemerintah sendiri (zelf bestuur).”
Dalam mencapai maksud dan tujuan ini Central Sarekat Islam mencari kerjasama
dan saling membantu dengan pihak-pihak yang menyetujuinya.
Perkembangan pesat SI lebih disebabkan citra Islam, yang menjadi
magnet utama menarik massa. Apalagi SI adalah tempat berkumpulnya para tokoh
Islam terkemuka, sebut saja KH Ahmad Dahlan, Agus Salim, AM Sangadji, Mohammad
Roem, Fachrudin, Abdoel Moeis, Ahmad Sjadzili, Djojosoediro, Hisamzainie, dan
lain-lainnya. Orang-orang besar inilah yang sangat dikagumi dan menjadi panutan
bagi sekalian rakyat.
Tjokroaminoto pun sempat menghasilkan buku-buku Islam, juga
menulis banyak artikel tentang materi keislaman. Meski Tjokro bukan seorang
ahli agama yang benar-benar murni berkonsentrasi pada pemahaman ajaran Islam,
tetapi Tjokroaminotolah yang menjadi Bapak Politik Umat Islam Indonesia. Ia adalah begawan muslim yang
mengajarkan pendidikan politik kepada seluruh rakyat Indonesia.
Dalam memimpin, Tjokroaminoto banyak melakukan tindakan-tindakan
yang seringkali membikin pemerintah Hindia Belanda berang. Antusiasme rakyat
terhadap SI membuat kaum kolonialis khawatir akan timbulnya perlawanan massal
di kelak kemudian hari. Di setiap kegiatan SI, massa yang datang pasti bejubel.
Tjokro pernah pula memimpin aksi buruh, membuka ruang pengaduan untuk rakyat di
rumah dan di kantornya, membela kepentingan kaum kromo lewat pidato dan
tulisannya di media pergerakan, mengetuai dibentuknya komite Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM)
untuk memertahankan kehormatan Islam, serta memantik rasa kebangsaan Indonesia
dengan menggencarkan gagasan soal pemerintahan sendiri untuk orang Indonesia
atau zelfbestuur.
Ketakutan pemerintah kolonial terhadap sepak terjang Tjokroaminoto
dan SI membuat mereka terpaksa merangkulnya untuk duduk sebagai anggota
Volksraad atau Dewan Rakyat. Penunjukan Tjokro ini membuat beberapa golongan di
internal SI, terutama dari SI Semarang yang dimotori Semaoen dan Darsono,
menentang kebijakan ini. Mereka juga tidak sepakat dengan dukungan
Tjokroaminoto terhadap rencana pembentukan milisi bumiputera.
Karena aktifitas politiknya Belanda akhirnya menangkap Tjokro pada
tahun 1921 karena dikhawatirkan akan membangkitkan semangat perjuangan rakyat
pribumi walaupun akhirnya dibebaskan pada tahun 1922, sebuah cobaan yang lazim
diterima para penegak syariat islam di seluruh dunia.
Sebagai seorang pemimpin, wajar jika Tjokroaminoto punya banyak
murid, di antaranya adalah Soekarno, Muso, Alimin, Kartosoewirjo, Buya Hamka, Abikoesno,
dan banyak lagi. Para anak didik Pak Tjokro ini kelak akan menjelma sebagai
pemimpin-pemimpin baru bangsa Indonesia. Seperti Soekarno yang Nasionalis, SM
kartosuwirjo yang Islamis Dan Muso-Alimin yang Komunis. Perbedaan idiologi dari
murid – muridnya tersebut secara tidak langsung memberikan warna sendiri
bagaimana secara aktif ide-ide, ilmu dan gagasan Cokro menghujam kedada mereka.
Walaupun dengan pemahaman yang beraneka ragam sesuai dengan latar belakang,
pendidikan dan pekerjaanya masing masing. Jadi, pertarungan Soekarno,
Kartosuwirjo dan Muso-alimin sejatinya adalah pertarungan tiga murid dari
seorang guru Tjokroaminoto. Hal ini mengisaratkan bahwa adanya perbedaan tafsir
para murid terhadap guru dan kemudian mendorong kecenderungan yang berbeda
pula.
Dalam beberapa hal, ide Islam Tjokro lebih dipahami oleh
Kartosuwirjo dengan Darul Islamnya, ia melanjutkan perjuangan yang telah
dirintis oleh Tjokro yakni menuntut Indonesia dalam wujud Ad-daulatul Islamiyah. Dengan dasar itu ia akhirnya memproklamirkan
Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949 di Jawa Barat.
Pak Tjokro juga seorang jurnalis. Ia pernah memimpin suratkabar
Otoesan Hindia yang merupakan organ internal SI sekaligus sebagai pemilik usaha
percetakan Setia Oesaha di Surabaya. Juga pernah terlibat dalam Bendera Islam
bersama Agus Salim, Soekarno, Mr Sartono, Sjahbudin Latief, Mohammad Roem, AM
Sangadji, serta aktivis Islam dan Nasionalis lainnya. Fadjar Asia pun terbit
sebagai suratkabar pembela rakyat berkat kerja kerasnya bersama Agus Salim dan
Kartosoewirjo. Tjokroaminoto pun piawai menulis buku, di antaranya adalah dua
buku yang diberi judul Tarich Agama Islam serta Islam dan Sosialisme.
Tjokroaminoto menguasai bahasa Jawa, Belanda, Melayu, dan bahasa
Inggris. Bahasa Jawa mengandung kelembutan dalam bentuk dan wujudnya, juga
dalam pengucapannya. Namun, dalam kata-kata lembut itu termuat maksud dan isi
yang tajam, serta seringkali berupa kiasan atau sindirian yang tak kalah
menohok, dan itulah yang sering dilakukan Tjokro untuk “menghabisi” lawan
bicaranya. Tjokro juga mulai belajar bahasa Inggris, meski hanya sendiri tanpa
guru yang mengajari. Tjokroaminoto sempat menghasilkan pidato dan beberapa
tulisan tangkas berbahasa Inggris. Ilmu bahasa universal itu sempat ia terapkan
untuk menerjemahkan tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa
Indonesia.
“Tjokroaminoto mempunyai keyakinan
yang teguh, bahwa Negara dan bangsa kita tak akan mentjapai kehidupan jang adil
dan makmur, pergaulan hidup jang aman dan tenteram, selama keadilan sosial
sepandjang adjaran-adjaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan mendjadi
hukum dalam Negara kita, sekalipun sudah merdeka.
”
Terbukti sekarang, sekalipun Negara dan bangsa kita sudah merdeka dan berdaulat bernaung dibawah pandji-pandji sang merah putih, namun rakjat jelata jang berpuluh-puluh jumlahnja belum merasakan kenikmatan dan kelezatan hidup dan kehidupan sehari-harinja. Rakyat masih tetap menderita matjam – matjam kesukaran dan kemelaratan. Kekatjauan timbul dimana-mana. Perampokan penggedoran. Pentjulikan dan pembunuhan seolah-ilah tak dapat diatasi oleh pihak (alat) pemerintahan.
”
Terbukti sekarang, sekalipun Negara dan bangsa kita sudah merdeka dan berdaulat bernaung dibawah pandji-pandji sang merah putih, namun rakjat jelata jang berpuluh-puluh jumlahnja belum merasakan kenikmatan dan kelezatan hidup dan kehidupan sehari-harinja. Rakyat masih tetap menderita matjam – matjam kesukaran dan kemelaratan. Kekatjauan timbul dimana-mana. Perampokan penggedoran. Pentjulikan dan pembunuhan seolah-ilah tak dapat diatasi oleh pihak (alat) pemerintahan.
Dikota-kota besar nampak pula kerusakan moral (budi pekerti)
bangsa kita. Bukan sadja pelajturan jang meradjalela dari kota-kota sampai
desa-desa, tetapi pihak jang dikatakan kaum terpeladjar, pemuda dan pemudi tak
ada batas lagi pergaulan hidupnja, pergaulan jang merdeka. Pergaulan jang
mempengaruhi alam pikiran pada kesesatan. Sumber-sumber pelatjuran telah
menjadi pergaulan hidup yang modern. Kemadjuan jang mentjontoh dunia barat jang
memang sudah rusak. Rusak budi-pekertinja dan rochaninja. Tak ada kendali
didalam djiwa jang dapat menahan hawa nafsunja. Inilah semuanja yang oleh ketua
Tjokroaminoto dikatakan Djahiliah
modern.
Kalau alat-alat pemerintah RI jang memegang tampuk kekuasaan
pemerintahan, baik pihak atasan maupun sampai bawahan sudah tidak takut lagi
kepada hukuman Allah, jakinlah Negara akan rusak dan hantjur dengan sendirinja,
sebab segala perbuatan djahat, korupsi, penipuan, suapan dan sebagainja jang
terang terang merugikan Negara, dikerjakan dengan aman oleh mereka itu sendiri,
rakjat mengerti sebab rakjat jang menjadi korban”.
Di tengah pemerintah kolonial yang masih kuat apalagi saat itu
Belanda masih menerapkan peraturan Reegerings
Reglement (RR) sebuah peraturan yang berisi larangan berpolitik,
berkumpul untuk membahas perjuangan kemerdekaan. Yang otomatis Cokro saat itu
harus berhadapan dengan dua lawan yaitu Belanda dan Pangreh Praja yang menjadi
kaki tangan Belanda. Pada tahun 1924, Cokro mulai aktif dalam komite –komite
pembahasan kekhilafahan yang dicetuskan pemimpin politik Wahabiah Arab, Ibnu
Saud. Sebuah langkah untuk memperkuat barisan menuju kemerdekaan dan
kekhalifahan dunia.
Satu hal yang penting bagi Tjokro, ia berfikir reflektif sebagai
respons atas pertautan zamannya. Islam ditemukannya sebagai suatu ideologi.
Setelah menemukan Islam sebagai Ideologi, maka Tjokro memberi geist baru bagi
Islam yaitu dengan sosialisme, yang coba digali dari dalam Al-Qur’an.
Tampaknya, Tjokro sadar akan bahaya sosialisme yang dengan “keseksiannya”
banyak menarik pengikut dari aktivis pergerakan. Jika Islam dimaknai secara
pasif, bukan suatu unsur yang “seksi”, menarik dan berjuang bagi perubahan,
maka langkah Islam tidak akan beranjak dari fungsi praktik ritual belaka.
·
Sosialisme Islam Tjokroaminoto
Sosialisme
Islam menurut Tjokro adalah sosialisme yang wajib dituntut dan dilakukan oleh
umat Islam, dan bukan sosialisme yang lain, melainkan sosialime yang berdasar
kepada azaz-azaz Islam belaka. Baginya, cita-cita sosialisme dalam Islam tidak
kurang dari 13 abad umurnya dan tidak ada hubungannya dengan pengaruh bangsa
eropa. Azaz-azaz sosialisme Islam telah dikenal dalam pergaulan hidup Islam
pada zaman nabi Muhammad SAW.
Islam secara
tegas mengharamkan riba (woeker) dan itu artinya Islam menentang keras terhadap
kapitalisme. Sebagaimana ditulis Tjokroaminoto dalam bukunya Islam dan
Sosialisme, “Menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan pekerjaan
lain orang, tidak memberikan bahagian keuntungan yang semestinya (dengan
seharusnya) kebahagiannya lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan
itu,- semua perbuatan yang serupa ini (oleh Karl Marx disebut memakan
keuntungan “meerwaarde” (nilai lebih) adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya
oleh agama Islam”.
Islam
menentang kapitalisme juga terlihat bagaimana konsep muamalah Islam
diberlakukan. Ajaran Islam mengajarkan bahwa akan celaka orang yang
mengumpulkan harta untuk kesia-siaan. Dalam muamalah Islam kata Tjokro, praktek
yang mengarah pada penimbunan dan penumpukan modal dan barang adalah dilarang.
Termasuk Islam melarang keras praktek riba karena dianggap benih kapitalisme
yang menurut pendapat Karl Marx disebut sebagai meerwarde.
Azaz penting
menurut Tjokro mengapa Nabi Muhammad gigih memperjuangkan Sosialisme Islam
karena Islam mengajarkan sebesar-besarnya keselamatan hendaknya menjadi
bahagiannya sebanyak-banyaknya manusia, dan keperluannya seseorang hendaknya
bertakluk kepada keperluannya orang banyak. Termasuk pencapaian rahmatan lil
alamien yang menjadi misi kerosulan Nabi Muhammad adalah ingin meletakkan
semangat keadilan dan kemanusiaan yang meniscayakan hadirnya sistem yang
mensejahterakan.
Maka kalau
ditelaah lebih jauh pemikiran diatas bahwa sebenarnya semangat perjuangan Tjokroaminoto
adalah ingin meletakkan Islam sebagai unsur fundamental untuk membebaskan
rakyat dari kesewenang-wenangan rezim Kolonial Belanda. Sosialisme Islam
baginya adalah ruh pembebasan manusia dari pemiskinan yang digerakkan oleh
sistem. Perlawanan terhadap sistem yang tidak berkeadilan beliau letakkan
sebagai misi kenabian sebagaimana ajaran Nabi Muhammad.
Bagi
Tjokroaminoto, dasar sosialisme Islam adalah ajaran Nabi Muhammad tentang
kemajuan budi pekerti rakyat. Sehingga Tjokro membagi anasir sosialisme Islam
pada tiga anasir, pertama, kemerdekaan (vrijheid-liberty). Kedua, persamaan
(gelijk-heid-eguality), dan ketiga, persaudaraan (broederschap-fraternity).
Bagi Cokro,
Islam adalah sesuatu yang harus di perjuangkan dan di persatukan, sebagai dasar
kebangsaan yang hendak di proses menuju Indonesia. Tipikal Cokro, identik
dengan AI-Afghani yang juga merupakan tokoh politik Pan-Islamisme (kebangkitan
Islam). Cokro dan Afghani juga sama-sama mengalami kegagalan dalam perjuangan
Pan-Islamismenya. Namun, arti penting keduanya bukan pada kemenangan atau
kekalahan. Keduanya menjadi penting karena menggulirkan momentum perubahan
pemikiran dalam Islam. Keduanya juga menjadi ruh perjuangan bagi kepentingan
politik Islam.
Ruh Cokro
akan masih terus bergerak menjadi spirit perjuangan ketika islam di
artikulasikan sebagai penggerak yang aktif, tidak statis. Yang mengatakan ,”
Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid , sepintar-pintar siasat”. Beliau
wafat pada tanggal 17 Desember 1934 di Yogyakarta, dan dimakamkan di TMP
Pekuncen, Yogyakarta.
1.3
Sarekat
Dagang Islam
Organisasi Sarekat Dagang Islam
(SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi
ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada 16 Oktober 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang
pribumi Muslim (khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan
pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat
itu, pedagang-pedagang keturunan Tionghoa tersebut telah lebih maju usahanya
dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Hindia Belanda
lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia-Belanda tersebut
kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran di antara kaum
pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.
SDI merupakan organisasi ekonomi
yang berdasarkan pada agama Islam dan perekonomian rakyat sebagai dasar
penggeraknya. Di bawah pimpinan H. Samanhudi, perkumpulan ini berkembang pesat
hingga menjadi perkumpulan yang berpengaruh. R.M. Tirtoadisurjo pada tahun 1909 mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun 1910, Tirtoadisuryo mendirikan lagi organisasi semacam itu di
Buitenzorg. Demikian pula, di Surabaya H.O.S.
Tjokroaminoto mendirikan organisasi serupa tahun 1912. Tjokroaminoto masuk SI bersama Hasan Ali Surati,
seorang keturunan India, yang kelak kemudian memegang keuangan surat kabar SI,
Oetusan Hindia. Tjokroaminoto kemudian dipilih menjadi pemimpin, dan mengubah
nama SDI menjadi Sarekat Islam (SI). Pada tahun 1912, oleh pimpinannya yang baru Haji Oemar Said
Tjokroaminoto, nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Hal ini dilakukan
agar organisasi tidak hanya bergerak dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam
bidang lain seperti politik. Jika ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat
disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan jiwa
dagang.
2. Membantu anggota-anggota
yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha.
3. Memajukan pengajaran
dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat.
4. Memperbaiki
pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam.
5. Hidup menurut
perintah agama.
SI tidak membatasi keanggotaannya
hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan,
persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan
perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat
muslim. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal.
Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi
dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan
menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial. Artinya SI memiliki jumlah anggota yang banyak sehingga menimbulkan
kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring dengan perubahan waktu,
akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah memperbolehkan berdirinya partai
politik, SI berubah menjadi partai politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.
· Masuknya pengaruh komunisme
SI yang mengalami perkembangan
pesat, kemudian mulai disusupi oleh paham sosialisme revolusioner. Paham ini
disebarkan oleh H.J.F.M
Sneevliet
yang mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging)
pada tahun 1914. Pada mulanya ISDV sudah mencoba menyebarkan pengaruhnya,
tetapi karena paham yang mereka anut tidak berakar di dalam masyarakat
Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang Belanda, sehingga usahanya
kurang berhasil. Sehingga mereka menggunakan taktik infiltrasi yang dikenal
sebagai "Blok di dalam", mereka berhasil menyusup ke dalam tubuh SI
oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil dan menentang
kapitalisme namun dengan cara yang berbeda.
Dengan usaha yang baik, mereka
berhasil memengaruhi tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin Prawirodirdjo. Hal ini
menyebabkan SI pecah menjadi "SI Putih" yang dipimpin oleh HOS
Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen. SI merah
berlandaskan asas sosialisme-komunisme.
Adapun faktor-faktor yang mempermudah
infiltrasi ISDV ke dalam tubuh SI antar lain:
1.
Centraal
Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang
lemah. Hal ini dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-sendiri. Pemimpin
cabang memiliki pengaruh yang kuat untuk menentukan nasib cabangnya, dalam hal
ini Semaoen adalah ketua SI Semarang.
2.
Peraturan
partai pada waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat pada
mulanya organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi
non-politik. Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan
anggotanya dari 1700 orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917
di sela-sela kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang.
3.
Akibat
dari Perang Dunia I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan membumbungnya
harga-harga dan menurunnya upah karyawan perkebunan untuk mengimbangi kas
pemerintah kolonial mengakibatkan dengan mudahnya rakyat memihak pada ISDV.
4.
Akibat
kemiskinan yang semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka (sistem
liberal) dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870 dan wabah pes yang
melanda pada tahun 1917 di Semarang.
SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo) berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan
kiri berpusat di kota Semarang. Sedangkan HOS Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di
antara kedua kubu tersebut.
Jurang antara SI Merah dan SI
Putih semakin melebar saat keluarnya pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang cita-cita
Pan-Islamisme. Pada saat kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H. Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap
bekerja sama dengan komunis karena keduanya memang bertentangan. Di samping itu
Agus Salim mengecam SI Semarang yang mendukung PKI.
Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam beleid (Belanda: kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang juga
menentang pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu,
Tjokroaminoto lebih condong ke SI haluan kanan (SI Putih).
· Penegakan disiplin partai
Pecahnya SI
terjadi setelah Semaoen dan Darsono dikeluarkan dari organisasi. Hal ini ada
kaitannya dengan desakan Abdul Muis dan Agus Salim pada kongres SI yang keenam
6-10 Oktober 1921 tentang perlunya disiplin partai yang melarang keanggotaan
rangkap. Anggota SI harus memilih antara SI atau organisasi lain, dengan tujuan
agar SI bersih dari unsur-unsur komunis. Hal ini dikhawatirkan oleh PKI
sehingga Tan Malaka meminta pengecualian bagi PKI. Namun usaha ini tidak
berhasil karena disiplin partai diterima dengan mayoritas suara. Saat itu
anggota-anggota PSI dari Muhammadiyah dan Persis pun turut pula dikeluarkan,
karena disiplin partai tidak memperbolehkannya.
Keputusan
mengenai disiplin partai diperkuat lagi dalam kongres SI pada bulan Februari
1923 di Madiun. Dalam kongres Tjokroaminoto memusatkan tentang peningkatan
pendidikan kader SI dalam memperkuat organisasi dan pengubahan nama CSI menjadi
Partai Sarekat Islam (PSI). Pada kongres PKI bulan Maret 1923, PKI memutuskan
untuk menggerakkan SI Merah untuk menandingi SI Putih. Pada tahun 1924, SI
Merah berganti nama menjadi "Sarekat Rakyat".
· Partai Sarekat Islam Indonesia
Pada kongres PSI tahun 1929
menyatakan bahwa tujuan perjuangan adalah mencapai kemedekaan nasional. Karena
tujuannya yang jelas itulah PSI ditambah namanya dengan Indonesia sehingga
menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Pada tahun itu juga PSII
menggabungkan diri dengan Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Akibat keragaman cara pandang di
antara anggota partai, PSII pecah menjadi beberapa partai politik, di antaranya
Partai Islam Indonesia dipimpin Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno, dan PSII
sendiri. Perpecahan itu melemahkan PSII dalam perjuangannya. Pada Pemilu 1955
PSII menjadi peserta dan mendapatkan 8 (delapan) kursi parlemen. Kemudian pada
Pemilu 1971 pada zaman Orde Baru, PSII di bawah kepemimpinan H. Anwar
Tjokroaminoto kembali menjadi peserta bersama sembilan partai politik lainnya
dan berhasil mendudukkan wakilnya di DPRRI sejumlah 12 (dua belas orang).
Berikut Foto
– foto :


SUMBER
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Oemar_Said_Tjokroaminoto
·
https://serbasejarah.wordpress.com/2009/04/24/sang-raja-tanpa-mahkota-hidup-dan-perjuangan-tjokroaminoto/
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Sarekat_Islam
·
https://www.google.co.id/






